Selasa, 29 November 2016

at-Tafsir al-Bayani li al-Qur'an al-Karim, Aisyah Abdurrahman Bint Syathi'

Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur’an Al-Karim
Karya
’Aisya Abd al-Rahman Binti al-Syathi’
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Membahas Kitab Tafsir pada Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakutas Ushuluddin
Dosen Pengampu:
Dr. Hasani Ahmad Said. M.A

Kelompok 10: IQTAF/3C
Disusun oleh:
Muhammad Ridho Al-Fansuri
NIM: 11150340000126
Ayi Syahfitri
NIM: 11150340000277
Fitrah Amaliah
NIM: 11150340000278

PRODI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1436 H/ 2016 M


KATA PENGANTAR 


Bismillahirrahmanirrahim...
Alhamdulillahirabbil’alamin...segala puji syukur hanya bagi Allah. Tidak ada daya dan upaya selain dari-Nya.Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya dalam mengarungi kehidupan ini. Shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman dimanapun mereka berbada.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari kehendak-Nya, sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini ber judul Tafsir Bayan Li Al-Qur’anil Karim Aisyah Binti Syathi’”. Semoga makalah ini dapat dijadikan acuan dalam meteri-materi yang terkait dengan apa yang kami bahas ini.
Dalam penyusunan makalah ini tentu penulis menemukan beberapa hambatan seperti akses buku yang sulit dicari, terbatasnya waktu untuk fokus membahas berbagai permasalahan yang terkait dengan apa yang kami bahas ini.
Harapan penulis kepada pembaca yaitu agar makalah ini dapat menambah wawasan pengetahuan, memahami hal-hal yang berkaitan dengan Tafsir Aisya Binti Syati”, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk penyusunan makalah yang sempurna pada masa yang akan datang.


Ciputat,  01 Desember 2016

   



Penyusun 



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................ii
BAB I PENDAHUUAN
A.    Latar Belakang...............................................................1
B.     Rumusan Masalah..........................................................1
C.     Tujuan Penulisan............................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Biografi  Aisyah Bint Syathi’.........................................3
B.     Latar Belakang Penafsiran Aisyah Bint al-Syathi’........4
C.     Karya-karya dari Aisyah Bint al-Syāthi’........................5
D.    Sumber  dan Metode Penafsiran ....................................7
E.     Corak Penafsiran............................................................ 9
F.      Karakteristik Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim....9
G.    Contoh Penafsiran Aisyah Bint al-Syāthi’ ...................10
H.    Keistimewaan dan Kelemahan .....................................12
BAB III  PENUTUP
A.    Kesimpulan....................................................................14
B.     Saran..............................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................15
LAMPIRAN....................................................................16


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
       Maraknya kemunculan pemikiran-pemikiran baru dalam penafsiran Al-Qur’an bisa jadi merupakan ketidakpuasan para pemikir saat ini terhadap pemikiran-pemikiran tafsir yang telah ada. Hal ini dirasa wajar, mengingat waktu terus berjalan dan kondisi terus berkembang. Sebagai pedoman kehidupan manusia, khususnya umat islam, Al-Qur’an memegang peranan penting dalam mengiringi setiap aktivitas umat islam tersebut. Hal ihwal apapun tentu akan dirujuakn kepada Al-Qur’an, atau nash teologis setelahnya, yakni Al-Sunah.
       Penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah hal yang niscaya – menginat Al-Qur’an adalah teks yang bisu. Aktifitas tersebut pun memang sudah dipraktikan semenjak zaman Nabi Muhammad SAW. dengan keniscayaan itu, maka masa demi masa penafsiran terus berkembang dan terus melahirkan produk-produk penafsiran, lengkap dengan corak, metode, maupun prioritas sumber penafsirannya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi dan Latar Belakang Penafsiran Aisyah Bint al-Syathi’?
2.      Apasaja Karya-karya dari Aisyah Bint al-Syāthi’?
3.      Bagaimana Sumber  dan Metode Penafsiran yang digunakan Aisyah Bint al-Syāthi’ dalam kitab Tafsir al-Bayan li Al-Qur’an al-Karim?
4.      Bagaimana Corak Penafsiran yang digunakan Aisyah Bint al-Syāthi’ dalam kitab Tafsir al-Bayan li Al-Qur’an al-Karim ?
5.      Bagaimana Karakteristik Tafsir al-Bayan li Al-Qur’an al-Karim?
6.      Bagaimana Contoh Penafsiran Aisyah Bint al-Syāthi’ terhadap Al-Qur’an dalam kitab Tafsir al-Bayan li Al-Qur’an al-Karim ?
7.      Adakah Keistimewaan dan Kelemahan Kitab Tafsir Bayani?

C.      Tujuan Penulisan
       Untuk mengetahui lebih dalam tentang Tafsir Al-Bayan Li Qur’anil Karim, bagaimana metode penafsirannya, corak yang dipakai dan sebagainya, serta mengetahui biografi atau profil Aisyah Binti Syathi’ selaku pengarang dari kita Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur’anil Karim tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’
Nama lengkap Bint Syathi adalah Aisyah Abdurrahman atau biasa disebut-sebut dengan nama Bint Syathi. Dia lahir pada tanggal 6 November 1913 M atau tanggal 6 Dzulhijah 1331 H di kota Dimyat wilayah disebelah Barat Delta Nil Mesir. Dia adalah seorang anak putri dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir.  Kedua orang tuanya adalah seorang tokoh agama alumni Al-Azhar. Sedangkan kakeknya Syeikh Ibrahim Ad-Damhuji Al-Kabir, dari garis keturunan sang ibu merupakan salah satu ulama besar Al-Azhar.
Sejak kecil Bint Syathi hidup di tengah-tengah keluarga yang agamis dan mapan, baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. Sementara keadaan lingkungan masyarakatnya masih konsevatif dlam pendidikan bagi wanita.
Bint Syathi memulai karir pendidikannya di usia yang ke 5 tahun. Ketika itu Aisyah telah di didik serta dipersiapkan oleh kedua orangtuanya untuk menjadi seorang ulama Islam. Di usia yang masih sangat belia Bint Syathi telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an. Pengajaran Al-Qur’an ia peroleh di Madrasah Al-Qur’an “Al-Kuttab”. Setelah menjalani pendidikan lanjutan, pada 1939 ia berhasil meraih jenjang Licence (Lc) jurusan sastra dan bahasa Arab, di Universitas Fuad I, Kairo. Dua tahun kemudian Binti al Syâth i’ menyelesaikan jenjang Master, dan pada 1950 meraih gelar Doktor pada bidang serta lembaga yang sama pula, dengan disertasi berjudul al-Gufrân li Abu al-A’lâ al-Ma’ârîy.[1]
Selama di kota Kairo dia mulai banyak menulis karya-karya ilmiah, hingga akhirnya ia menjadi penulis di sebuah lembaga jurnalistik, karena di samping minat dalam bidang sastra, ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ juga mempunyai bakat jurnalistik yang besar. Ia telah menulis artikel di media masa sejak di pendidikan lanjutan, suatu prestasi yang jarang terjadi di lingkungannya. Dengan posisi sebagai penulis ini ia punmemulai karirnya dengan banyak melayangkan tulisannya ke beberapa media massa terkenal di Mesir. Diantaranya majalah Nahdhah Islamiyyah, Ahram, pada tahun 1933. Dari sinilah mulai terkenal nama besar Bint Syathi.[2]
Ketika Bint Syathi masih dalam penyelesaian studinya di program Magisternya ia menikah dengan dosennya, Prof. Amin al-Khuli (1895 M-1966 M), minatnya terhadap kajian tafsir dimulai sejak pertemuannya dengan suaminya tersebut, yang merupakan seorang pakar tafsir. Ketika ia bekerja di Universitas Kairo. Dari sini, Binti al-Syāthi’ mendalami tafsir dan menulis buku tafsirnya yang terkenal dengan al-Tafsîr al-Bayân li al-Qurân al-Karîm yang diterbitkan pada 1962. Dan pada 1998[3], Binti al-Syāthi’ telah meninggalkan segalanya, namun nama dan karya beliau masih terekam rapi dalam khazanah keilmuan Islam.
Karir akademik Binti al-Syāthi’ dimulai sebagai guru sekolah dasar khusus perempuan di al-Mansuriah pada tahun 1929. Tahun 1932, beliau menjadi supervisor pendidikan di sebuah lembaga bahasa Inggris dan Prancis. Pada tahun 1939 beliau menjadi asisten Lektur pada Universitas Kairo, menjadi Inspektur bahasa Arab pada sebuah lembaga pada tahun 1942 sekaligus sebagai kritikus sastra pada koran al-Ahrâm, menjadi lektur bahasa Arab pada Universitas ‘Ain al-Syam pada tahun 1950, menjadi asisten profesor bahasa Arab pada sebuah Universitas khusus perempuan, dan akhirnya menjadi profesor penuh untuk sastra Arab di Universitas ‘Ain al-Syam pada tahun 1967. Aisyah Bint Syathi’ wafat pada awal Desember 1998 dalam usianya yang ke 85 tahun.

B.       Latar Belakang Penafsiran
Binti al-Syāthi’ dilahirkan dan dibesarkan ketika kondisi lingkungan sama sekali tidak mendukung terhadap aktivitas perempuan, apalagi sampai dikenal masyarakat luas. Terlebih sang ayah adalah seorang ulama tradisional yang sangat berpegang teguh terhadap tradisi keluarga ketika itu, sehingga sepak terjang Binti al-Syāthi’ tidak sepenuhnya bebas.
Dirasah Qur'aniyah telah lama beliau geluti semenjak masa kanak-kanak, hal itulah yang setidaknya mendorong Binti al-Syāthi’ untuk mencoba mengkaji lebih dalam tentang al-Quran. Kemampuan dalam sastra Arab sudah menjadi identitas beliau, maka tak heran jika pendekatan bahasa-lah yang ia pilih untuk pertama kalinya guna menggali al-Quran sebagai harta karun peradaban Islam yang tak kunjung habis untuk diekplorasi. Kelihaian Binti al-Syāthi’ di bidang ini terlihat jelas dalam  masterpiecenya al- I'jâz al- Bayâni.
Penghargaan terhadap dedikasi wanita kenamaan ini, dalam bidang Tafsir khususnya, tidak hanya didapatkan dari Mesir saja, namun hampir seluruh kawasan Timur Tengah mengakui ke-intelektual-an beliau. Terbukti dari beberapa karyanya yang mulai membahana serta turut meramaikan beberapa kajian tafsir.

C.    Karya-karya Binti al-Syāthi’
Diantara karya-karya beliau yang dibuat di dua Perguruan Tinggi yang digelutinya adalah sebagai beriukut:[4]
a.       Karya tulis tentang Kajian Al-Qur’an:
Ø At-Tafsir Al-Bayani Li Al-Qur’an Al-Karim, Vol I, Kairo, Daar Al-Ma’arif, 1962, Edisi I, 1966, Edisi III, 1968.
Ø At-Tafsir Al-Bayani Li Al-Qur’an Al-Karim, Vol II, Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1969.
Ø Al-I’jaz Al-Bayani Li AL-Qur’an Wa Masail Ibn Al-Azraq Dirasah Qur’aniyyah Lughawiyyah wa Bayaniyyah, Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1971.
Ø Kitabuna Al-Akbar, Umm Durman, Jami’ah Umm Durman al-Islamiyyah, 1867. dll
b.      Karya Tulis Tentang Bahasa dan Sastra :
Ø  Al-Hayah Al-Imsaniyah ‘inda Abi al-‘Ala, Dar Al-Ma’arif, 1994.
Ø  Al-Ghufran li Abi al-‘Ala al-Ma’rif, Kairo, Dar al-Ma’arif, 1954, Edisi II, 1962, Edisi III, 1968.
Ø  Risalah Al-Ghufron li Abi Al-‘Ala, Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1950, Edisi II, 1957, Edisi III, 1963, Edisi IV, 1968, Edisi V, 1969.
Ø  Dar as-Salam fi Hayat Abi al-‘Ala, Baghdad, Wizarah al-Irsyad, 1964. dll
c.       Karya Tulis tentang Sejarah :
Ø  Banat an-Naby, Kairo, Dar Al-Hilal, 1963.
Ø  Al-Mafhum al-Islamy li Tahrir Al-Mar’ah, Mathba’ah Mukhaikir, 1967.
Ø  Turatsuna Bayna Madhin wa Hadhirin, Kairo, League of Arab States, Ma’had ad-Dirasah al-‘Arabiyyah, 1968.
Ø  A’dha al-Basyar, Kairo, Higher, Council for Islamic Lajnah at-Ta’rif bin al-Islam, 1968.dll
d.      Karya Tulis Tentang Biografi Bint Syathi’ :
Ø  ‘Ala al-Jisr, bain al-Hayat wa Al-Maut, Sirah Dzatiyyah, Mesir, Maktabah al-Usrah, 2002.
Ø  Sirr as-Syathi wa Qishash min al-Qaryah, Mesir, al-Hai’ah al-Misriyyah, 1992.
Ø  Shuwar min Hayatihinna fi Jil at-Thali’ah min al-harim ila al-Jami’ah, Mesir, AN-Nahdhah al-Mishriyyah, 1991, dan dicetak ulang oleh Maktabah al-Usrah.
Ø  Ardh al-Mu’jizat, Bairut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1392 H.
Pada kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran, Bint Syathi menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya tersebut mengikuti standarisasi metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen sekaligus Suami tercintanya, Amin al-Kulli. Perlu diketahui, gagasan Amin al-Kulli adalah menciptakan paradigma baru mengenai al- Qur’an, yaitu menjadikan metode sastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya. Metode sastra yang dimaksud adalah pengkajian al-Qur’an dengan dua tahap:
1. Dirasah Min a Haula al-Nass (Kajian seputar al-Quran) Kajian tersebut meliputi kajian khusus dan kajian umum. Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran. Sedangkan kajian umum adalah kajian konteks/situasi, material dan immaterial lingkungan Arab.
2. Dirasah ma fi al-Nass (kajian tentang al-Quran itu sendiri) Kajian ini bermaksud untuk mencari makna etimologis, terminologis. Semantic yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic dalam satu ayat yang ditafsirkan.[5]



D.      Sumber  dan Metode Penafsiran
Metode tafsir yang digunakan ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ merupakan metode untuk memahami al-Quran secara objektif. Menurutnya, metode ini diambil dan dikembangkan dari prinsip-prinsip metode penafsiran Amin al-Khulli (1895-1966) yang terdiri dari empat langkah:
1.         Metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari Al-Quran secara objektif, yang dimulai dengan pengumpulan semua surat dan ayat mengenai topik yang akan dipelajari.[6]
2.         Surat dan ayat tersebut kemudian disusun sesuai dengan kronologi pewahyuannya sehingga keterangan mengenai wahyu dan tempatnya (asbâb al-nuzȗl) dapat diketahui. Namun asbâb al-nuzȗl di sini tidak dipandang sebagai penyebab turunnya ayat melainkan hanya sebagai keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Yang harus diperhatikan di sini adalah generalitas kata yang digunakan bukan kekhususan peristiwa pewahyuannya (al-’ibrah bi ‘umūm al-lafdz lâ bikhusūs al-sabab). Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hasil metode ini akan dikacaukan oleh perdebatan ulama tentang asbâb al-nuzūl. Pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.[7]
3.          Untuk memahami petunjuk lafadz, karena al-Qurân menggunakan bahasa Arab, maka harus dicari petunjuk dalam bahasa aslinya yang memberikan rasa kebahasaan bagi lafadz-lafadz yang digunakan secara berbeda, kemudian disimpulkan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafadz yang ada di dalamnya, dan dengan dicarikan konteksnya yang khusus dan umum dalam ayat al-Quran secara keseluruhan, maka diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistis asli. Di sinilah digunakan “analisa bahasa” (semantik).
4.          Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang mufassir harus berpegang pada makna nash (maqâshid asy-syarî’) dan semangatnya, kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat para ulama.
Objektivitas merupakan sebuah mimpi yang selalu didambakan Binti al-Syāthi’ dalam upayanya membedah Kalam Tuhan. Sikap yang diambilnyapun terkadang elastis, terlebih ketika beliau menilai bahwa al-Qurân tidak dapat ditafsirkan dengan hanya mengandalkan satu metode saja (induktif). Untuk itu, Binti al-Syāthi’ selain menggunakan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, beliau juga mulai melangkah dan menggunakan tawaran hermeneutik sebagai salah satu media penafsirannya.
Menurutnya, metode ta'wil memang dibutuhkan, terutama dalam rangka menghubungkan teks itu sendiri dengan konteks (siyâq al-kalâm). Yang selanjutnya berkembang menjadi sebuah metode baru objective comprehension (al-tanawul al-maudlu'i). Yaitu mengumpulkan seluruh ayat al-Qur'an yang mempunyai keterikatan tertentu dengan sebuah tema pembahasan, maka dengan sendirinya ayat-ayat tersebut akan berbicara tentang apa dan bagaimana, serta sebab utama ayat tersebut diturunkan.
Jelas jauh berbeda dengan metode maudlu'i yang hanya membahas per-surat saja. Keuntungan yang didapatkan dari metode baru ala Binti al-Syāthi’ ini yaitu dapat memberikan penjelasan retorika pembahasan sesuai dengan tema al-Quran, sehingga dari sini lafadz al-Quran dapat dimengerti sebagai lafadz yang multimakna. Artinya, sebuah lafadz tidak dapat digunakan untuk menafsirkan ayat lain dengan arti yang sama.
Dengan metode ini, ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ sengaja mematok aturan-aturan yang ketat, agar al-Qur’an benar-benar berbicara tentang dirinya sendiri tanpa campur tangan mufassir, dan dipahami secara langsung sebagaimana oleh para sahabat. Karena itu rujukan-rujukan seperti yang terkait dengan asbâb al-nuzȗl hanya dipahami sebagai data sejarah, sehingga apa yang dimaksud Tuhan dalam suatu pewahyuan benar-benar pesan yang melampaui peristiwa tertentu. Karena itu pula, pandangan-pandangan para mufassir sebelumnya, terutama al-Thabâri (w. 923), al-Zamakhsyâri (w. 1143), Fakhr al-Dîn al-Râzi (w. 1210), Isfahâni, Nizhâm al-Dîn al-Naisabȗri, Abu Hayyân al-Andalȗsîy (w. 1344), Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Suyȗthi dan Muẖammad Abduh (w. 1905) yang sering dikutip ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ dalam tafsirnya, bukan dijadikan rujukan melainkan justru sering menunjukkan kekeliruannya dan alasannya yang terlalu dibuat-buat, karena tidak sesuai dengan maksud al-Quran sebagaimana yang dipahami lewat metode yang dikembangkan.

E.   Corak Penafsiran
Corak yang digunakan dalam tafsir ini yakni corak adabi, yang mana ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ dalam menafsirkan Al-Quran menggunakan metode analisa bahasa & munasabah antar ayat dan surat.
‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ ialah sosok reformis yang mereformasi secara fundamental metode menafsirkan adabi atau yang belakangan popular dengan istilah bayani. Istilah bayani ini tidak menjadi sebuah perspektif baru mengingat bahwa selama ini pemahaman kebahasaan, baik stilistika dan gramatikal bahasa dalam tafsir cenderung mengadopsi pendapat sebelumnya. Padahal ini merupakan area yang sangat potensial dalam upaya memahami al-Qur’an secara integral, sistemik dan relevan dengan kondisi cita-rasa ke-Arab-an.
F.   Karakteristik Penafsiran
Diantara karakteristik Tafsir ‘Ā’isyah Binti al-Syāthi’ ialah:
1.    Mengungkap makna-makna dibalik sinonim kata.
2.    Menemukan bahwa tidak ada dua kata yang benar-benar bermakna sama karena tiap kata mempunyai sebuah makna dan cita-rasa tersendiri, sebagaimana contoh :
خلق            =  menciptakan sesuatu yang belum pernah terjadi, semisal bumi seisinya.
جعل           = menciptakan sesuatu yang langsung dapat digunakan atau dimanfaatkan semisal air.
سخر           = menciptakan sesuatu sebagai bahan mentah yang masih memerlukan  pengolahan semisal bahan tambang dan kekayaan bumi lainnya.
3.    Mengungkap kemukjizatan jumlah pengulangan kata dalam al-Quran.
4.    Mengungkap munasabah antara ayat dan surat dan mengaitkannya satu sama lain terutama dari sudut pandang kebahasaan.
Selain karakteristik diatas, Tafsir ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ tidak luput dari empat prinsip penafsiran yakni:
a.     menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, yang berpegang pada prinsip al-Qurân yufassiru ba’duhu ba’dl, bahwa ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian lainnya.
b.    Prinsip munâsabah antar ayat maupun antar surat.
c.    Ibrah itu hanya memuat pada bunyi teks, bukan dengan asbâb al-Nuzûl (al-ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khusûs al-sabab), kecuali untuk lafadz yang menunjukkan khusus.
d.    Prinsip bahwa kata-kata dalam al-Quran tidak ada sinonim.

G.      Contoh penafsiran
·           Contoh-contoh penafsiran yang dilakukan oleh Bintu Syathi’ sebagai aplikasi dari metode yang digunakannya adalah sebagai berikut: Q.S. Al- Balad: 4
  لَقَدْ خَلَكْنَا اْلِإنْسَانَ فِى كَبَدٍ
 “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah”. (QS. Al-Balab [90]: 4).
Kata كَبَدٍ yang dalam terjemahannya diartikan dengan “kesusahan”, merupakan sebuah kata pada Al-Qur’an yang membutuhkan pembahasan panjang, dan memunculkan pandangan yang bersifat teologis. Dan menurut Bintu Syathi’ dalam menafsirkan kata ini, apabila kita melihat kepada latar belakang keadaannya. Kata tersebut mengacu pada kualitas alamiah manusia untuk memikul tanggung jawab dan memilih antara yang baik dan yang buruk. Inilah yang kemudian diungkapkan oleh Bintu Syathi; sebagai .كَبَدٍnya, bebannya, penderitaannya jika ia memang memilihnya. Selain itu juga, Bintu Syathi’ memperkuat argumennya dengan mengajukan sebuah ayat yang berkaitan dengan hal itu, yaitu Q.S. Al-Balad : 8-10.
 أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ, عَيْنَيْنِ # وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ # وَهَدَيْناهُ اْلنَّجْدَيْنِ#
 “Bukankah kami Telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan [8]”. (QS. Al-Balad [90]: 8-9).
Bintu Syathi’ menyatakan bahwa dua jalan itu adalah al-najdayn adalah jalan yang menuju kepada kebaikan dan jalan menuju kepada kejahatan yang telah di pisahkan secara tegas sehingga manusia dapat memilih satu dari kedua jalan ini. Dan ketika manusia memilih salah satu dari dua jalan itu, maka dia harus bertanggung jawab atas pilihan tersebut. 
·           Contoh lain yang diungkapkan oleh Bintu Syathi’ adalah Q.S. Al-Ahzab : 72.
 “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat [9] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS. Al-Ahzab [33]: 72).
Bintu Syathi’ menelaah kata-kata أمانة (amanat) dan حمل(memikul) di berbagai permunculan kata itu oleh para mufassir sebelumnya, namun sekaligus menolaknya karena dipandang terlalu mengada-ada. Menurut Bintu Syathi’, kata أمانة tidak merujuk kepada benda-benda material yang diamanatkan kepada manusia sebagaimana yang selama ini di tafsirkan oleh para mufassir, melainkan merujuk kepada kehendak bebas manusia dan tanggung jawabnya atas pilihan yang diputuskannya serta keadaan untuk dimintai pertanggung jawaban. Memikul amanat disini berarti menyadari akan konsekuensinya, sebagai manusia yang menempati posisi sebagai khalifah di bumi Allah Swt.
Selain itu, dalam kajian  mengenai kata kerjaعرض  (berkeinginan), lagi-lagi kami sampaikan bahwa Bint al-Syathi’ disini menegaskan masalah kebebasan berkehendak  manusia. Sebagai penguat argumennya itu, ia mencatat bahwa kata kerja tersebut muncul sebanyak 140 kali; sekitar 50 diantaranya di nisbahtkan kepada tuhan, dan kira-kira 90 lainnya di nisbatkan kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Menurutnya, kata kerja tersebut tidak pernah muncul dalam bentuk kata kerja abstrak iradah, tetapi berbentuk kata kerja masa lampau (fiil madhi) atau dalam bentuk kata kerja masa yang akan datang (fiil mudhori). Kata kerja itu tidak pernah muncul dalam bentuk imperatif atau derivatif.  
Dalam upaya menerangkan fenomena ini, Bintusy Syathi’ sekaligus mengkritik para mufassir terdahulu yang tidak pernah memperhatikan hal-hal seperti ini. Menurutnya Al-Qur’an hanya mengakui kehendak sebagai suatu tindakan, bukan suatu abstraksi intelektual atau suatu sifat. Lebih jauh lagi, tindakan berkehendak tidak dapat dipaksakan atas diri seseorang oleh sebuah perintah atau keharusan, sebab hal itu akan mengikis kebebasan dan nantinya tidak akan ada lagi kehendak.
Melalui metode yang dikembangkan dan coba diterapkannya ini secara tidak langsung telah membawa beliau pada pemahaman bahwa kehendak manusia berkaitan dengan ketetapan hati dan kehendak itu didahului oleh keinginan dan pemikiran mendalam.
H.      Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Bayani
·         Kelebihan
Uslub yang digunakan Bint al-Syati’ dalam tafsir ini sangat bagus, jelas dan mudah dipahami. Penjabarannya sering kali diperkuat dengan hadis-hadis nabawi dan mendiskusikannya dalam ayat-ayat yang ia tafsirkan dengan mencari keterkaitan-keterkaitan untuk menemukan orientasi dan pemahaman dari suatu surat ataupun ayat yang dikajinya. Begitu juga dengan pendapat-pendapat ulama terdahulu, Bint al-Syati’ selalu merujuk dan memperkenalkan penafsiran dan pemahaman ulama pakar bahasa dan agama seperti al-Thabari , al-Nisaburi, al-Razi, al-Suyuti, al-Zamakhsari, ibn al-Qayyim,al-Hasan al-Bishri dan Muhammad ‘Abduh serta yang lainnya, untuk kemudian ia putuskan pendapatnya sendiri.
Namun bagaimanapun, tafsir-tafsir yang bercorak bayani belum mencererminkan satu kesatuan yang utuh dan terpadu dalam ajaran al-Qur’an yang fundamental. Karena seorang mufassir kadang terjebak dengan keterkungkungan kesusasteraan dengan tidak menguak nilai-nilai yang lain.
·         Kelemahan
Ketika kita berbicara kelemahan yang terdapat dalam Tafsir al-Bayan khususnya pada langkah ketiga, jika pemahaman lafaz al-Qur’an harus dikaji lewat pemahaman Bahasa Arab yang merupakan bahasa “induknya”, padahal kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti membuka peluang dan menggiring masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam pemahaman al-Qur’an; sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri.
Bint al-Shati’ kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu, melainkan lebih pada analisis semantik. Kenyataannya, ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan lafazh-lafazh yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantik). Hal ini tampak pada penafsirannya pada surat al-Zalzalah, ia mengumpulkan semua derivasi dari kata al-zilzal, tapi bukan untuk dicari maknanya secara lebih utuh dan komprehensif, melainkan lebih pada analisis semantiknya, untuk mendukung gagasan yang dilontarkan. Di sinilah Bint al-Shati’ banyak menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Sebagai mufassir era modern yang juga menggunakan metode penafsiran modern dengan latar belakang keilmuan sastranya, Bintusy Syathi’ merupakan salah satu mufassir yang mengangkat penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menonjolkan segi semantik. Metode yang digunakannya adalah dengan munsabah ayat dan tidak terlalu berkutat didalam lingkup asbabun nujul suatu ayat. Beliau berusaha seobyektik mungkin dalam menafsirkan suatu ayat dan membiarkan teks teks al-Qur’an menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri.
Adapun pendekatan yang dipakai, sebenarnya hanyalah sebuah syarat untuk membongkar Kalam Tuhan yang masih menjadi sebuah pertanyaan besar bagi umat Islam khususnya. Kemampuan manusia yang serba terbatas menurut beliau tidaklah mampu menemukan kebenaran hakiki, hal seperti itulah yang patut disadari. Terlebih al-Quran mencakup berita-berita gaib serta kisah-kisah terdahulu yang cukup sulit untuk dijangkau. Hal inilah yang menurut Binti al-Syāthi’ sebagai kebenaran nisbi,(hanya terlihat) bukan sebagai kebenaran mutlak.

B.       Saran
Demikinlah makalah yang dapat penulis susun, penulis sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat  kami harapkan demi membangun perbaikan dan pengembangan. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan semoga bermanfaat Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA
Boullata, Issa J. Tafsir al-Quran Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi, dalam Jurnal Al-Hikmah, Oktober 1991.
Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Quran .Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008.
Shihab, Quraish. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan, 1997.
Syamsuddin, Sahiron. An Examination of Bintu al Syathi’’s Method of Interpreting The Quran. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1999.
al-Syāthi’, ‘Ā’isya Abdurahman Binti. al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qurân al-Karîm, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1977.
al-Syāthi’, ‘Ā’isya Abdurahman Binti. Tafsir Bint al-Syathi, terj. Muzakir, Bandung: Mizan, 1996.
Yusron, Muhammad. “Mengenal Pemikiran Bint Al-Syâti’ Tentang Al-Quran” dalam Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras. 2006.
http://noerelanwar.blogspot.co.id/2014/05/v-behaviorurldefaultvmlo_30.html, diakses tanggal 23 November 2016 pukul10:48. Wib.


 


[1] Issa J. Boullata, Tafsir al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi, dalam Jurnal Al-Hikmah, (no. 3, oktober 1991), h. 6
[2] M. Syihabbuddin Muin, Shohibul Adib & Fahmi Arif El-Muniry “Ulumul Qur’an” Profil para Mufassir Al-Qur’an dan para Pengkajinya, (Banten:Pustaka Dunia, 2011), h. 257.
[3] ‘Ā’isya Abdurahman Binti al-Syāthi’. al-Tafsîr al-Bayân li al-Qurân al-karîm, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1977), h. 10
[4] ‘Ā’isya Abdurahman Binti al-Syāthi’. al-Tafsîr al-Bayân li al-Qurân al-karîm, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1977), h. 10
[5]http://noerelanwar.blogspot.co.id/2014/05/v-behaviorurldefaultvmlo_30.html, diakses tanggal 23 November 2016 pukul10:48. Wib.
        [6] ‘Ā’isya Abdurahman Binti al-Syāthi’. al-Tafsîr al-Bayân li al-Qurân al-karîm, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1977), h. 10.
[7] Siful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 188.
[8] Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan.
[9]Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.