Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur’an Al-Karim
Karya
’Aisya Abd al-Rahman Binti
al-Syathi’
Makalah
ini diajukan untuk
memenuhi tugas matakuliah Membahas
Kitab Tafsir pada Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakutas Ushuluddin
Dosen
Pengampu:
Dr.
Hasani Ahmad Said. M.A
Kelompok 10: IQTAF/3C
Disusun oleh:
Muhammad Ridho Al-Fansuri
NIM: 11150340000126
Ayi Syahfitri
NIM: 11150340000277
Fitrah Amaliah
NIM: 11150340000278
PRODI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H/ 2016 M
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim...
Alhamdulillahirabbil’alamin...segala puji syukur hanya bagi Allah. Tidak
ada daya dan upaya selain dari-Nya.Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan
karunia-Nya dalam mengarungi kehidupan ini. Shalawat dan salam selalu
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, dan
orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman dimanapun mereka berbada.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari kehendak-Nya, sehingga makalah
ini dapat kami selesaikan. Makalah ini ber judul “Tafsir Bayan Li Al-Qur’anil Karim Aisyah Binti Syathi’”. Semoga
makalah ini dapat dijadikan acuan dalam meteri-materi yang terkait dengan apa
yang kami bahas ini.
Dalam penyusunan makalah ini tentu penulis menemukan beberapa hambatan seperti
akses buku yang sulit dicari, terbatasnya waktu untuk fokus membahas berbagai
permasalahan yang terkait dengan apa yang kami bahas ini.
Harapan penulis kepada pembaca yaitu agar makalah ini dapat menambah
wawasan pengetahuan, memahami hal-hal yang berkaitan dengan Tafsir Aisya Binti
Syati”, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut. Kami sadar
bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk penyusunan makalah
yang sempurna pada masa yang akan datang.
Ciputat, 01 Desember
2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR........................................................i
DAFTAR
ISI.....................................................................ii
BAB I PENDAHUUAN
A.
Latar
Belakang...............................................................1
B.
Rumusan
Masalah..........................................................1
C.
Tujuan
Penulisan............................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Biografi Aisyah
Bint Syathi’.........................................3
B.
Latar Belakang Penafsiran Aisyah Bint al-Syathi’........4
C.
Karya-karya dari Aisyah Bint al-Syāthi’........................5
D.
Sumber dan
Metode Penafsiran ....................................7
E.
Corak
Penafsiran............................................................
9
F.
Karakteristik Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim....9
G. Contoh Penafsiran Aisyah Bint al-Syāthi’ ...................10
H.
Keistimewaan
dan Kelemahan
.....................................12
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................14
B.
Saran..............................................................................14
DAFTAR
PUSTAKA.....................................................15
LAMPIRAN....................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Maraknya
kemunculan pemikiran-pemikiran baru dalam penafsiran Al-Qur’an bisa jadi
merupakan ketidakpuasan para pemikir saat ini terhadap pemikiran-pemikiran
tafsir yang telah ada. Hal ini dirasa wajar, mengingat waktu terus berjalan dan
kondisi terus berkembang. Sebagai pedoman kehidupan manusia, khususnya umat
islam, Al-Qur’an memegang peranan penting dalam mengiringi setiap aktivitas
umat islam tersebut. Hal ihwal apapun tentu akan dirujuakn kepada Al-Qur’an,
atau nash teologis setelahnya, yakni Al-Sunah.
Penafsiran
terhadap Al-Qur’an adalah hal yang niscaya – menginat Al-Qur’an adalah teks
yang bisu. Aktifitas tersebut pun memang sudah dipraktikan semenjak zaman Nabi
Muhammad SAW. dengan keniscayaan itu, maka masa demi masa penafsiran terus
berkembang dan terus melahirkan produk-produk penafsiran, lengkap dengan corak,
metode, maupun prioritas sumber penafsirannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Biografi dan Latar Belakang Penafsiran Aisyah Bint al-Syathi’?
2.
Apasaja Karya-karya dari Aisyah Bint al-Syāthi’?
3.
Bagaimana Sumber
dan Metode Penafsiran yang digunakan Aisyah Bint al-Syāthi’ dalam kitab Tafsir al-Bayan li Al-Qur’an
al-Karim?
4.
Bagaimana Corak Penafsiran yang
digunakan Aisyah Bint al-Syāthi’ dalam kitab Tafsir
al-Bayan li Al-Qur’an al-Karim ?
5.
Bagaimana Karakteristik Tafsir al-Bayan li Al-Qur’an al-Karim?
6.
Bagaimana Contoh Penafsiran Aisyah Bint al-Syāthi’ terhadap Al-Qur’an dalam kitab Tafsir al-Bayan
li Al-Qur’an al-Karim ?
7.
Adakah Keistimewaan dan Kelemahan
Kitab Tafsir Bayani?
C.
Tujuan Penulisan
Untuk
mengetahui lebih dalam tentang Tafsir Al-Bayan Li Qur’anil Karim, bagaimana
metode penafsirannya, corak yang dipakai dan sebagainya, serta mengetahui
biografi atau profil Aisyah Binti Syathi’ selaku pengarang dari kita Tafsir Al-Bayan
Li Al-Qur’anil Karim tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’
Nama
lengkap Bint Syathi adalah Aisyah Abdurrahman atau biasa disebut-sebut dengan nama
Bint Syathi. Dia lahir pada tanggal 6 November 1913 M atau tanggal 6 Dzulhijah
1331 H di kota Dimyat wilayah disebelah Barat Delta Nil Mesir. Dia adalah
seorang anak putri dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam
Muntasyir. Kedua orang tuanya adalah
seorang tokoh agama alumni Al-Azhar. Sedangkan kakeknya Syeikh Ibrahim
Ad-Damhuji Al-Kabir, dari garis keturunan sang ibu merupakan salah satu ulama
besar Al-Azhar.
Sejak
kecil Bint Syathi hidup di tengah-tengah keluarga yang agamis dan mapan, baik
dari segi ekonomi maupun pendidikan. Sementara keadaan lingkungan masyarakatnya
masih konsevatif dlam pendidikan bagi wanita.
Bint
Syathi memulai karir pendidikannya di usia yang ke 5 tahun. Ketika itu Aisyah
telah di didik serta dipersiapkan oleh kedua orangtuanya untuk menjadi seorang
ulama Islam. Di usia yang masih sangat belia Bint Syathi telah menyelesaikan
hafalan Al-Qur’an. Pengajaran Al-Qur’an ia peroleh di Madrasah Al-Qur’an
“Al-Kuttab”. Setelah menjalani pendidikan lanjutan,
pada 1939 ia berhasil meraih jenjang Licence (Lc) jurusan sastra dan bahasa Arab,
di Universitas Fuad I, Kairo. Dua tahun kemudian Binti al Syâth i’ menyelesaikan jenjang Master,
dan pada 1950 meraih gelar Doktor pada bidang serta lembaga yang sama pula, dengan disertasi
berjudul al-Gufrân li Abu al-A’lâ al-Ma’ârîy.[1]
Selama
di kota Kairo dia mulai banyak menulis karya-karya ilmiah, hingga akhirnya ia
menjadi penulis di sebuah lembaga jurnalistik, karena di samping minat dalam bidang sastra, ‘Ā’isya
Binti al-Syāthi’ juga mempunyai bakat jurnalistik yang besar. Ia telah menulis artikel di media masa sejak di pendidikan lanjutan,
suatu prestasi yang jarang terjadi di lingkungannya. Dengan posisi sebagai penulis ini ia punmemulai
karirnya dengan banyak melayangkan tulisannya ke beberapa media massa terkenal
di Mesir. Diantaranya majalah Nahdhah Islamiyyah, Ahram, pada tahun
1933. Dari sinilah mulai terkenal nama besar Bint Syathi.[2]
Ketika
Bint Syathi masih dalam penyelesaian studinya di program Magisternya ia menikah
dengan dosennya, Prof. Amin al-Khuli (1895 M-1966 M), minatnya terhadap kajian
tafsir dimulai sejak pertemuannya dengan suaminya tersebut, yang merupakan seorang
pakar tafsir. Ketika ia bekerja di Universitas Kairo. Dari sini, Binti al-Syāthi’
mendalami tafsir dan menulis buku tafsirnya yang terkenal dengan al-Tafsîr al-Bayân li al-Qurân
al-Karîm yang diterbitkan pada 1962. Dan pada 1998[3], Binti al-Syāthi’ telah
meninggalkan segalanya, namun nama dan karya beliau masih terekam rapi dalam
khazanah keilmuan Islam.
Karir akademik Binti al-Syāthi’
dimulai sebagai guru sekolah dasar khusus perempuan di al-Mansuriah pada tahun
1929. Tahun 1932, beliau menjadi supervisor pendidikan di sebuah lembaga bahasa
Inggris dan Prancis. Pada tahun 1939 beliau menjadi asisten Lektur pada
Universitas Kairo, menjadi Inspektur bahasa Arab pada sebuah lembaga pada tahun
1942 sekaligus sebagai kritikus sastra pada koran al-Ahrâm, menjadi lektur bahasa Arab pada Universitas
‘Ain al-Syam pada tahun 1950, menjadi asisten profesor bahasa Arab pada sebuah
Universitas khusus perempuan, dan akhirnya menjadi profesor penuh untuk sastra
Arab di Universitas ‘Ain al-Syam pada tahun 1967. Aisyah Bint Syathi’ wafat
pada awal Desember 1998 dalam usianya yang ke 85 tahun.
B.
Latar
Belakang Penafsiran
Binti
al-Syāthi’ dilahirkan dan dibesarkan ketika kondisi lingkungan
sama sekali tidak mendukung terhadap aktivitas perempuan, apalagi sampai
dikenal masyarakat luas. Terlebih sang ayah adalah seorang ulama tradisional
yang sangat berpegang teguh terhadap tradisi keluarga ketika itu, sehingga
sepak terjang Binti al-Syāthi’ tidak sepenuhnya bebas.
Dirasah Qur'aniyah telah lama beliau geluti semenjak
masa kanak-kanak, hal itulah yang setidaknya mendorong Binti al-Syāthi’ untuk mencoba mengkaji
lebih dalam tentang al-Quran. Kemampuan dalam sastra Arab sudah menjadi
identitas beliau, maka tak heran jika pendekatan bahasa-lah yang ia pilih untuk
pertama kalinya guna menggali al-Quran sebagai harta karun peradaban Islam yang
tak kunjung habis untuk diekplorasi. Kelihaian Binti al-Syāthi’ di bidang ini terlihat jelas
dalam masterpiecenya al- I'jâz al- Bayâni.
Penghargaan terhadap dedikasi wanita kenamaan ini,
dalam bidang Tafsir khususnya, tidak hanya didapatkan dari Mesir saja, namun
hampir seluruh kawasan Timur Tengah mengakui ke-intelektual-an beliau. Terbukti
dari beberapa karyanya yang mulai membahana serta turut meramaikan beberapa
kajian tafsir.
C.
Karya-karya Binti al-Syāthi’
Diantara karya-karya beliau yang dibuat di dua Perguruan Tinggi yang
digelutinya adalah sebagai beriukut:[4]
a.
Karya tulis tentang Kajian Al-Qur’an:
Ø At-Tafsir Al-Bayani Li
Al-Qur’an Al-Karim, Vol I, Kairo,
Daar Al-Ma’arif, 1962, Edisi I, 1966, Edisi III, 1968.
Ø At-Tafsir Al-Bayani Li
Al-Qur’an Al-Karim, Vol II,
Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1969.
Ø Al-I’jaz Al-Bayani Li AL-Qur’an
Wa Masail Ibn Al-Azraq Dirasah Qur’aniyyah Lughawiyyah wa Bayaniyyah, Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1971.
Ø Kitabuna Al-Akbar, Umm Durman, Jami’ah Umm Durman al-Islamiyyah,
1867. dll
b.
Karya Tulis Tentang Bahasa dan Sastra :
Ø
Al-Hayah Al-Imsaniyah ‘inda Abi al-‘Ala, Dar Al-Ma’arif, 1994.
Ø
Al-Ghufran li Abi al-‘Ala al-Ma’rif, Kairo, Dar al-Ma’arif, 1954, Edisi II, 1962, Edisi III, 1968.
Ø
Risalah Al-Ghufron li Abi Al-‘Ala, Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1950, Edisi II, 1957, Edisi III, 1963, Edisi IV,
1968, Edisi V, 1969.
Ø
Dar as-Salam fi Hayat Abi al-‘Ala, Baghdad, Wizarah al-Irsyad, 1964. dll
c.
Karya Tulis tentang Sejarah :
Ø
Banat an-Naby, Kairo, Dar
Al-Hilal, 1963.
Ø
Al-Mafhum al-Islamy li Tahrir Al-Mar’ah, Mathba’ah Mukhaikir, 1967.
Ø
Turatsuna Bayna Madhin wa Hadhirin, Kairo, League of Arab States, Ma’had ad-Dirasah al-‘Arabiyyah, 1968.
Ø
A’dha al-Basyar, Kairo,
Higher, Council for Islamic Lajnah at-Ta’rif bin al-Islam, 1968.dll
d.
Karya Tulis Tentang Biografi Bint Syathi’ :
Ø
‘Ala al-Jisr, bain al-Hayat wa Al-Maut, Sirah Dzatiyyah, Mesir, Maktabah al-Usrah, 2002.
Ø
Sirr as-Syathi wa Qishash min al-Qaryah, Mesir, al-Hai’ah al-Misriyyah, 1992.
Ø
Shuwar min Hayatihinna fi Jil at-Thali’ah min al-harim ila al-Jami’ah, Mesir, AN-Nahdhah al-Mishriyyah, 1991, dan dicetak
ulang oleh Maktabah al-Usrah.
Ø
Ardh al-Mu’jizat, Bairut, Dar
al-Kitab al-‘Arabi, 1392 H.
Pada
kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran, Bint Syathi
menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya tersebut mengikuti
standarisasi metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen sekaligus Suami
tercintanya, Amin al-Kulli. Perlu diketahui,
gagasan Amin al-Kulli adalah menciptakan paradigma baru mengenai al- Qur’an,
yaitu menjadikan metode sastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya. Metode sastra yang dimaksud adalah pengkajian al-Qur’an dengan dua tahap:
1. Dirasah
Min a Haula al-Nass (Kajian seputar al-Quran) Kajian tersebut meliputi
kajian khusus dan kajian umum. Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran.
Sedangkan kajian umum adalah kajian konteks/situasi, material dan immaterial
lingkungan Arab.
2. Dirasah
ma fi al-Nass (kajian tentang al-Quran itu sendiri) Kajian ini bermaksud untuk mencari makna etimologis,
terminologis. Semantic yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic
dalam satu ayat yang ditafsirkan.[5]
D.
Sumber dan Metode Penafsiran
Metode tafsir yang
digunakan ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ merupakan metode untuk
memahami al-Quran secara objektif. Menurutnya, metode ini diambil dan dikembangkan
dari prinsip-prinsip metode penafsiran Amin al-Khulli (1895-1966) yang terdiri
dari empat langkah:
1.
Metodenya adalah memperlakukan apa yang
ingin dipahami dari Al-Quran secara objektif, yang dimulai dengan pengumpulan
semua surat dan ayat mengenai topik yang akan dipelajari.[6]
2.
Surat dan ayat tersebut kemudian
disusun sesuai dengan kronologi pewahyuannya sehingga keterangan mengenai wahyu
dan tempatnya (asbâb al-nuzȗl) dapat diketahui. Namun asbâb al-nuzȗl
di sini tidak dipandang sebagai penyebab turunnya ayat melainkan hanya sebagai
keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Yang harus
diperhatikan di sini adalah generalitas kata yang digunakan bukan kekhususan
peristiwa pewahyuannya (al-’ibrah bi ‘umūm al-lafdz lâ bikhusūs al-sabab).
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hasil metode ini akan
dikacaukan oleh perdebatan ulama tentang asbâb al-nuzūl. Pentingnya pewahyuan
terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan
peristiwa pewahyuannya.[7]
3.
Untuk memahami petunjuk lafadz, karena al-Qurân menggunakan
bahasa Arab, maka harus dicari petunjuk dalam bahasa aslinya yang memberikan
rasa kebahasaan bagi lafadz-lafadz yang digunakan secara berbeda, kemudian
disimpulkan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafadz yang ada di
dalamnya, dan dengan dicarikan konteksnya yang khusus dan umum dalam ayat
al-Quran secara keseluruhan, maka diperlukan pemahaman yang
mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistis asli. Di sinilah digunakan “analisa
bahasa” (semantik).
4.
Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang
mufassir harus berpegang pada makna nash (maqâshid asy-syarî’) dan semangatnya, kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat
para ulama.
Objektivitas merupakan
sebuah mimpi yang selalu didambakan Binti al-Syāthi’ dalam upayanya membedah
Kalam Tuhan. Sikap yang diambilnyapun terkadang elastis, terlebih ketika beliau
menilai bahwa al-Qurân tidak dapat ditafsirkan dengan hanya mengandalkan satu
metode saja (induktif). Untuk itu, Binti al-Syāthi’ selain menggunakan
riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, beliau juga mulai melangkah dan
menggunakan tawaran hermeneutik sebagai salah satu media penafsirannya.
Menurutnya, metode ta'wil memang dibutuhkan,
terutama dalam rangka menghubungkan teks itu sendiri dengan konteks (siyâq
al-kalâm). Yang selanjutnya berkembang menjadi sebuah metode baru objective
comprehension (al-tanawul al-maudlu'i). Yaitu mengumpulkan seluruh
ayat al-Qur'an yang mempunyai keterikatan tertentu dengan sebuah tema
pembahasan, maka dengan sendirinya ayat-ayat tersebut akan berbicara tentang
apa dan bagaimana, serta sebab utama ayat tersebut diturunkan.
Jelas jauh berbeda dengan metode maudlu'i yang hanya membahas
per-surat saja. Keuntungan yang didapatkan dari metode baru ala Binti al-Syāthi’
ini yaitu dapat memberikan penjelasan retorika pembahasan sesuai dengan tema
al-Quran, sehingga dari sini lafadz al-Quran dapat dimengerti sebagai lafadz
yang multimakna. Artinya, sebuah lafadz tidak dapat digunakan untuk menafsirkan
ayat lain dengan arti yang sama.
Dengan metode ini, ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ sengaja
mematok aturan-aturan yang ketat, agar al-Qur’an benar-benar berbicara tentang
dirinya sendiri tanpa campur tangan mufassir, dan dipahami secara langsung
sebagaimana oleh para sahabat. Karena itu rujukan-rujukan seperti yang terkait
dengan asbâb al-nuzȗl hanya dipahami sebagai data sejarah, sehingga
apa yang dimaksud Tuhan dalam suatu pewahyuan benar-benar pesan yang melampaui
peristiwa tertentu. Karena itu pula, pandangan-pandangan para mufassir
sebelumnya, terutama al-Thabâri (w. 923), al-Zamakhsyâri (w. 1143),
Fakhr al-Dîn al-Râzi (w. 1210), Isfahâni, Nizhâm al-Dîn al-Naisabȗri,
Abu Hayyân al-Andalȗsîy (w. 1344), Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Suyȗthi
dan Muẖammad Abduh (w. 1905) yang sering dikutip ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ dalam
tafsirnya, bukan dijadikan rujukan melainkan justru sering menunjukkan
kekeliruannya dan alasannya yang terlalu dibuat-buat, karena tidak sesuai
dengan maksud al-Quran sebagaimana yang dipahami lewat metode yang
dikembangkan.
E.
Corak Penafsiran
Corak yang digunakan dalam tafsir ini yakni corak adabi,
yang mana ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ dalam menafsirkan Al-Quran menggunakan metode analisa bahasa
& munasabah antar ayat dan surat.
‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ ialah sosok reformis yang mereformasi secara fundamental
metode menafsirkan adabi atau yang belakangan popular dengan istilah bayani.
Istilah bayani ini tidak menjadi sebuah perspektif baru mengingat bahwa
selama ini pemahaman kebahasaan, baik stilistika dan gramatikal bahasa dalam tafsir
cenderung mengadopsi pendapat sebelumnya. Padahal ini merupakan area yang sangat
potensial dalam upaya memahami al-Qur’an secara integral, sistemik dan relevan
dengan kondisi cita-rasa ke-Arab-an.
F.
Karakteristik
Penafsiran
Diantara karakteristik Tafsir ‘Ā’isyah Binti al-Syāthi’ ialah:
1.
Mengungkap makna-makna dibalik sinonim
kata.
2.
Menemukan bahwa tidak ada dua kata yang
benar-benar bermakna sama karena tiap kata mempunyai sebuah makna dan cita-rasa
tersendiri, sebagaimana contoh :
خلق = menciptakan sesuatu yang belum pernah terjadi,
semisal bumi seisinya.
جعل = menciptakan sesuatu yang langsung dapat digunakan atau dimanfaatkan
semisal air.
سخر =
menciptakan sesuatu sebagai bahan mentah yang masih memerlukan pengolahan semisal bahan tambang dan kekayaan
bumi lainnya.
3.
Mengungkap kemukjizatan jumlah
pengulangan kata dalam al-Quran.
4.
Mengungkap munasabah antara ayat dan
surat dan mengaitkannya satu sama lain terutama dari sudut pandang kebahasaan.
Selain karakteristik diatas, Tafsir ‘Ā’isya
Binti al-Syāthi’ tidak luput dari empat prinsip
penafsiran yakni:
a.
menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran,
yang berpegang pada prinsip al-Qurân yufassiru ba’duhu ba’dl, bahwa
ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian lainnya.
b.
Prinsip munâsabah antar ayat maupun
antar surat.
c.
Ibrah itu hanya memuat pada bunyi teks,
bukan dengan asbâb al-Nuzûl (al-ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khusûs
al-sabab), kecuali untuk lafadz yang menunjukkan khusus.
d.
Prinsip bahwa kata-kata dalam al-Quran
tidak ada sinonim.
G.
Contoh
penafsiran
·
Contoh-contoh penafsiran
yang dilakukan oleh Bintu Syathi’ sebagai aplikasi dari metode yang
digunakannya adalah sebagai berikut: Q.S. Al- Balad: 4
لَقَدْ خَلَكْنَا اْلِإنْسَانَ فِى كَبَدٍ
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah
payah”. (QS. Al-Balab [90]: 4).
Kata كَبَدٍ yang dalam terjemahannya diartikan dengan “kesusahan”,
merupakan sebuah kata pada Al-Qur’an yang membutuhkan pembahasan panjang, dan
memunculkan pandangan yang bersifat teologis. Dan menurut Bintu Syathi’ dalam
menafsirkan kata ini, apabila kita melihat kepada latar belakang keadaannya.
Kata tersebut mengacu pada kualitas alamiah manusia untuk memikul tanggung
jawab dan memilih antara yang baik dan yang buruk. Inilah yang kemudian
diungkapkan oleh Bintu Syathi; sebagai .كَبَدٍnya, bebannya, penderitaannya jika ia memang
memilihnya. Selain itu juga, Bintu Syathi’ memperkuat argumennya dengan
mengajukan sebuah ayat yang berkaitan dengan hal itu, yaitu Q.S. Al-Balad :
8-10.
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ, عَيْنَيْنِ # وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ # وَهَدَيْناهُ اْلنَّجْدَيْنِ#
“Bukankah kami
Telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan kami
Telah menunjukkan kepadanya dua jalan
[8]”. (QS. Al-Balad [90]: 8-9).
Bintu Syathi’ menyatakan bahwa
dua jalan itu adalah al-najdayn adalah jalan yang menuju kepada kebaikan
dan jalan menuju kepada kejahatan yang telah di pisahkan secara tegas sehingga
manusia dapat memilih satu dari kedua jalan ini. Dan ketika
manusia memilih salah satu dari dua jalan itu, maka dia harus bertanggung jawab
atas pilihan tersebut.
·
Contoh lain
yang diungkapkan oleh Bintu Syathi’ adalah Q.S. Al-Ahzab : 72.
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat [9]
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al-Ahzab [33]: 72).
Bintu Syathi’ menelaah kata-kata أمانة (amanat) dan حمل(memikul) di berbagai permunculan kata itu
oleh para mufassir sebelumnya, namun sekaligus menolaknya karena dipandang
terlalu mengada-ada. Menurut Bintu Syathi’, kata أمانة tidak merujuk
kepada benda-benda material yang diamanatkan kepada manusia sebagaimana yang
selama ini di tafsirkan oleh para mufassir, melainkan merujuk kepada kehendak
bebas manusia dan tanggung jawabnya atas pilihan yang diputuskannya serta
keadaan untuk dimintai pertanggung jawaban. Memikul amanat disini berarti
menyadari akan konsekuensinya, sebagai manusia yang menempati posisi sebagai
khalifah di bumi Allah Swt.
Selain itu, dalam kajian
mengenai kata kerjaعرض (berkeinginan), lagi-lagi
kami sampaikan bahwa Bint al-Syathi’ disini menegaskan masalah kebebasan
berkehendak manusia. Sebagai penguat argumennya itu, ia mencatat bahwa
kata kerja tersebut muncul sebanyak 140 kali; sekitar 50 diantaranya di nisbahtkan
kepada tuhan, dan kira-kira 90 lainnya di nisbatkan kepada makhluk-makhluk
ciptaan-Nya. Menurutnya, kata kerja tersebut tidak pernah muncul dalam bentuk
kata kerja abstrak iradah, tetapi berbentuk kata kerja masa lampau (fiil
madhi) atau dalam bentuk kata kerja masa yang akan datang (fiil mudhori).
Kata kerja itu tidak pernah muncul dalam bentuk
imperatif atau derivatif.
Dalam upaya menerangkan fenomena
ini, Bintusy Syathi’ sekaligus mengkritik para mufassir terdahulu yang tidak
pernah memperhatikan hal-hal seperti ini. Menurutnya Al-Qur’an hanya mengakui
kehendak sebagai suatu tindakan, bukan suatu abstraksi intelektual atau suatu
sifat. Lebih jauh lagi, tindakan berkehendak tidak dapat dipaksakan atas diri
seseorang oleh sebuah perintah atau keharusan, sebab hal itu akan mengikis
kebebasan dan nantinya tidak akan ada lagi kehendak.
Melalui metode yang dikembangkan
dan coba diterapkannya ini secara tidak langsung telah membawa beliau pada
pemahaman bahwa kehendak manusia berkaitan dengan ketetapan hati dan kehendak
itu didahului oleh keinginan dan pemikiran mendalam.
H.
Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Bayani
·
Kelebihan
Uslub yang digunakan Bint al-Syati’
dalam tafsir ini sangat bagus, jelas dan mudah dipahami. Penjabarannya sering
kali diperkuat dengan hadis-hadis nabawi dan mendiskusikannya dalam ayat-ayat
yang ia tafsirkan dengan mencari keterkaitan-keterkaitan untuk menemukan
orientasi dan pemahaman dari suatu surat ataupun ayat yang dikajinya. Begitu
juga dengan pendapat-pendapat ulama terdahulu, Bint al-Syati’ selalu merujuk
dan memperkenalkan penafsiran dan pemahaman ulama pakar bahasa dan agama
seperti al-Thabari , al-Nisaburi, al-Razi, al-Suyuti, al-Zamakhsari, ibn
al-Qayyim,al-Hasan al-Bishri dan Muhammad ‘Abduh serta yang lainnya, untuk
kemudian ia putuskan pendapatnya sendiri.
Namun bagaimanapun, tafsir-tafsir
yang bercorak bayani belum mencererminkan satu kesatuan yang utuh dan terpadu
dalam ajaran al-Qur’an yang fundamental. Karena seorang mufassir kadang
terjebak dengan keterkungkungan kesusasteraan dengan tidak menguak nilai-nilai
yang lain.
·
Kelemahan
Ketika kita berbicara kelemahan
yang terdapat dalam Tafsir al-Bayan khususnya pada langkah ketiga, jika
pemahaman lafaz al-Qur’an harus dikaji lewat pemahaman Bahasa Arab yang
merupakan bahasa “induknya”, padahal kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam
syair dan prosa Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti
membuka peluang dan menggiring masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam
pemahaman al-Qur’an; sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri.
Bint al-Shati’ kurang konsisten
dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu,
melainkan lebih pada analisis semantik. Kenyataannya,
ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan
lafazh-lafazh yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis
dari sisi bahasa (semantik). Hal ini tampak pada penafsirannya pada surat
al-Zalzalah, ia mengumpulkan semua derivasi dari kata al-zilzal, tapi
bukan untuk dicari maknanya secara lebih utuh dan komprehensif, melainkan lebih
pada analisis semantiknya, untuk mendukung gagasan yang dilontarkan. Di sinilah Bint al-Shati’ banyak
menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai mufassir era modern yang juga menggunakan metode penafsiran modern
dengan latar belakang keilmuan sastranya, Bintusy Syathi’ merupakan salah satu
mufassir yang mengangkat penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menonjolkan segi
semantik. Metode yang digunakannya adalah dengan munsabah ayat
dan tidak terlalu berkutat didalam lingkup asbabun nujul suatu ayat. Beliau
berusaha seobyektik mungkin dalam menafsirkan suatu ayat dan membiarkan teks
teks al-Qur’an menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri.
Adapun pendekatan yang dipakai, sebenarnya
hanyalah sebuah syarat untuk membongkar Kalam Tuhan yang masih menjadi sebuah
pertanyaan besar bagi umat Islam khususnya. Kemampuan manusia yang serba
terbatas menurut beliau tidaklah mampu menemukan kebenaran hakiki, hal seperti
itulah yang patut disadari. Terlebih al-Quran mencakup berita-berita gaib serta
kisah-kisah terdahulu yang cukup sulit untuk dijangkau. Hal inilah yang menurut
Binti al-Syāthi’ sebagai kebenaran nisbi,(hanya terlihat) bukan sebagai
kebenaran mutlak.
B.
Saran
Demikinlah makalah yang dapat penulis
susun, penulis sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan
saran yang membangun sangat kami
harapkan demi membangun perbaikan dan pengembangan. Dan semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan kita dan semoga bermanfaat Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Boullata,
Issa J. Tafsir al-Quran Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi, dalam
Jurnal Al-Hikmah, Oktober 1991.
Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Quran .Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani. 2008.
Shihab,
Quraish. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan, 1997.
Syamsuddin, Sahiron. An Examination of
Bintu al Syathi’’s Method of Interpreting The Quran. Yogyakarta:
Titian Ilahi Press. 1999.
al-Syāthi’, ‘Ā’isya Abdurahman Binti. al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qurân al-Karîm, Kairo: Dar al-Ma’arif,
1977.
al-Syāthi’,
‘Ā’isya Abdurahman Binti. Tafsir Bint al-Syathi, terj. Muzakir,
Bandung: Mizan, 1996.
Yusron, Muhammad. “Mengenal Pemikiran Bint Al-Syâti’
Tentang Al-Quran” dalam Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta:
Teras. 2006.
http://noerelanwar.blogspot.co.id/2014/05/v-behaviorurldefaultvmlo_30.html, diakses tanggal 23 November 2016 pukul10:48. Wib.
[1]
Issa J. Boullata, Tafsir al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi, dalam
Jurnal Al-Hikmah, (no. 3, oktober 1991), h. 6
[2] M. Syihabbuddin Muin, Shohibul Adib & Fahmi
Arif El-Muniry “Ulumul Qur’an” Profil para Mufassir Al-Qur’an dan para
Pengkajinya, (Banten:Pustaka Dunia, 2011), h. 257.
[3] ‘Ā’isya Abdurahman Binti
al-Syāthi’. al-Tafsîr al-Bayân
li al-Qurân al-karîm, (Kairo: Dar al-Ma’arif,
1977), h. 10
[4] ‘Ā’isya Abdurahman Binti
al-Syāthi’. al-Tafsîr al-Bayân
li al-Qurân al-karîm, (Kairo: Dar al-Ma’arif,
1977), h. 10
[5]http://noerelanwar.blogspot.co.id/2014/05/v-behaviorurldefaultvmlo_30.html, diakses tanggal 23 November 2016 pukul10:48. Wib.
[6] ‘Ā’isya Abdurahman Binti
al-Syāthi’. al-Tafsîr
al-Bayân li al-Qurân al-karîm, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1977),
h. 10.
[7] Siful Amin Ghofur, Profil Para
Mufassir al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 188.
[8] Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan
kebajikan dan jalan kejahatan.
[9]Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah
tugas-tugas keagamaan.